KHALIFAH YANG HAQ
Khalifah adalah kepemimpinan tertinggi, yaitu kekuasaan yang
berlaku umum atas seluruh individu umat Islam, mengurus dan menjalankan
urusan-urusan keagamaan umat Islam,
bahwa pada hakikatnya khalifah, imam dan amir adalah seorang
mujadid di setiap zamannya memiliki satu makna. yaitu pimpinan tertinggi umat
Islam yang mengatur urusan keagamaan umat islam terutama tentang kesaksian
baiat bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
Mencari imam atau khilafah atau mujadid di setiap zaman khususnya
zaman ini adalah kewajiban bagi umat Islam. Namun banyak dari umat Islam hari
ini tidak memamahi bahwa mencari khalifah yang haq meurut dalil dalil syar’i adalah
kewajiban yang mutlak, khalifah bukanlah lahir atas dasar pengangkatan oleh
sekelompok orang. Karena kedudukan khalifah zaman ini adalah bukan hanya
sekedar seorang mujadid belaka, karena tugas tugas khalifah hari ini lebih
berat dari sekedar seorang mujadid. Kewajiban mencari khalifah yang sudah
diangkat oleh Allah lewat tangan Rasulullah di dasarkan pada dalil-dalil dari Al-Qur’an
dan sunnah.
Dalil dari Al-Qur’an:
Surat an-Nisa’ ayat 59:
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Artinya, “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara
kamu.”
Ketika menyebutkan pendapat para mufassir tentang makna ulil amri,
Imam ath-Thabari menyimpulkan, “Pendapat yang paling benar adalah pendapat,
‘Mereka adalah para penguasa yang menaati Allah dan mendatangkan maslahat bagi
kaum muslimin.’” (Jami’ul Bayan, ath-Thabari: 8/502).
Wajhul istidlal dari ayat ini: Allah mewajibkan kepada kaum
muslimin untuk menaati penguasa, dan perintah untuk taat menjadi dalil wajibnya
mencari pemimpin atau khalifah. Karena Allah tidak memerintahkan ketaatan
kepada orang yang tidak ada wujudnya.
Surat al-Ma’idah ayat 49
Allah Ta’ala juga berfirman memerintahkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam,
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا
أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ
مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ
Artinya, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”
(al-Ma’idah: 49).
Perintah Allah kepada Rasul-Nya agar memutuskan perkara
berdasarkan syariat yang diturunkan Allah. Perintah kepada Rasul ini juga
berlaku bagi umat beliau, sehingga mereka wajib untuk mengamalkan hukum sesuai
syariat yang diturunkan Allah, hingga hari kiamat. Mengamalkan hukum ini tidak
mungkin bisa tegak kecuali dengan mencari pemimpin atau khalifah yang telah di
janjikan Allah, yaitu setap kurun 100 tahun sekali setiap awal abad . Karena
itu termasuk tugasnya. Dengan demikian, seluruh ayat yang memerintahkan untuk
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah menjadi dalil tentang wajibnya
mencari pemimpin (imam) atau khalifah yang telah di janjikan Allah SWT. Dalil
di atas dilarang mengikuti hawa nafsu yang berarti harus mengikuti apa yang
telah di janjikan Allah, yaitu seorang mujadid atau khalifah zaman. Jadi umat
islam di larang untuk mengangkat seorang khalifah, karena khalifah atau imam
zaman sudah di janjikan Allah SWT. Inilah kekhalifahan yang Haq.
Surat al-Hadid ayat 25
Allah Ta’ala juga berfirman,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ
الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنزَلْنَا الْحَدِيدَ
فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ وَرُسُلَهُ
بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
Artinya,“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab,
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat
bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu), dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya, padahal Allah
tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (al-Hadid:
25).
Tugas para Rasul dan para pengikut mereka sepeninggalnya adalah
menegakkan keadilan di antara manusia sesuai dengan apa yang ada di dalam
al-Qur’an, dan menopangnya dengan kekuatan. Olehnya, pengikut para rasul harus
mencari Imam atau Khalifah zaman yang mengingatkan tentang pentingnya keadilan
di tengah-tengah mereka, dan mengatur urusan keagamaan umat islam. “Agama yang
haq (Islam) harus ditopang oleh al-Kitab yang memberi petunjuk, al-Kitab akan
menjelaskan apa yang diperintah dan dilarang
oleh Allah.
Dalil dari Sunah Qauliyah:
Ada banyak hadits Nabi yang menunjukkan tentang kewajiban mencari
seorang imam khalifah zaman, di antaranya adalah:
Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَة مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّ
Artinya, “Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu
alaihi wasallam, “Barangsiapa yang mati, dan di lehernya tidak terdapat baiat,
maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim, nomor 1851).
Ini adalah dalil yang jelas tentang wajibnya mencari seorang imam
atau khalifah zaman ini atau seorang mujadid, karena jika baiat itu diwajibkan
atas setiap muslim, maka mencari imam atau khalifah zaman ini atau mujadid itu
juga wajib. Karena baiat tidak terjadi kecuali kepada imam atau khalifah zaman
ini atau mujadid.
Dalil dari Sunah Fi’liyah
Perintah untuk mencari seorang imam atau khalifah zaman ini atau
mujadid itu tidak hanya berdasarkan hadits qauliyah saja, tetapi Nabi
Shallallahu alaihi wasallam sendiri yang telah mempraktekkannya. dan beliau
yang menjadi imam pertama atau khalifah umat islam. Setelah Allah telah
mempersiapkan orang-orang yang menolong agama ini dan membela Rasul-Nya, beliau
mulai membangun pondasi-pondasinya, beliau mempersatukan antara suku Aus dan
Khazraj dan meredam permusuhan panjang di antara mereka, kemudian beliau mempersaudarakan
antara orang-orang Anshar dan Muhajirin, mempersiapkan umat islam untuk menyebarkan
agama ini dan melindunginya. Beliau juga mengutus para utusan yang berisi
ajakan kepada segenap raja di negeri-negeri sekitar Madinah untuk masuk Islam,
mengikat kesepakatan dan perjanjian dengan orang-orang Yahudi dan selain
mereka, menjelaskan hukum-hukum yang terkait dengannya, menerangkan ajaran
ajarannya atau risalah risalah dari Allah SWT.
Beliau juga mengatur Baitul mal kaum muslimin dan membagikannya
sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, membaiat para amir dan hakim
untuk mengurusi urusan kaum muslimin, menegakkan hudud syar’iyah dan
hukuman-hukuman…, dan urusan-urusan lain yang sudah semestinya dilakukan oleh
seorang khalifah.
Imam asy-Syathibi Rahimahullah berkata, “Telah tsabit (tetap)
bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak meninggal, hingga beliau telah
menjelaskan seluruh urusan agama dan dunia yang dibutuhkan, dan ini tidak ada
perselisihan di antara ahli sunah.” (al-I’tisham: 1/64).
Karena memang, kekhalifahan seperti yang dipraktekkan oleh Nabi
sendiri merupakan tuntutan dari agama
Islam ini.
Perbuatan yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam
yang menjadi khalifahbagi kaum muslimin pertama menjadi dalil wajibnya
kekhalifahan atau kepemimpinan. Karena beliau telah menjelaskan hukum-hukum
syar’i dengan perkataan, perbuatan dan penetapannya. Dan perbuatan beliau
menuntut kewajiban.
Dalil dari Ijma’
Di antara dalil terpenting yang menunjukkan kewajiban mengangkat
imam (khalifah) adalah ijma’ dari umat islam. Ijma’ tersebut pertama kali
dilakukan oleh para sahabat ketika memutuskan siapa yang menjadi khalifatu
Rasulillah (pengganti Nabi) sepeninggal beliau, bahkan sebelum proses pemandian
dan penguburan beliau. (lih. Sirah Ibni Hisyam: 4/664 dan Subulus Salam:
2/111).
Di antara dalil yang menegaskan hal di atas adalah hadits yang
dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 3666-3667); kisah ringkasnya,
setelah Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wasallam meninggal dunia, manusia
berduka. Mereka menangis. Sementara itu, orang-orang Anshar berkumpul menemui
Sa’ad bin Ubadah di Saqifah Bani Sa’idah, mereka mengatakan, “Dari kami ada
seorang pemimpin, dan dari kalian ada pemimpin.” Waktu itu, Abu Bakar, Umar dan
Ubaidah bin Jarrah pergi menemui mereka. Umar ingin berbicara, tetapi ditahan
oleh Abu Bakar. Lalu Abu Bakar yang berbicara dan berpesan, “Kami yang menjadi
pemimpin, dan kalian menterinya.” Hubab bin Mundzir menyela, “Demi Allah, kami
tidak akan melakukannya. Dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang
pemimpin.” Abu Bakar menegaskan lagi, “Tidak kami lah yang menjadi pemimpin,
dan kalian menjadi menterinya.” Setelah itu orang-orang membaiat Umar dan Abu
Ubaidah, tetapi kemudian Umar angkat bicara, “Tidak, bahkan kami-lah yang
membaiat Anda, karena Anda adalah pemimpin kami dan orang terbaik kami, serta
lebih dicintai oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Umar pun mengambil
tangan Abu Bakar, lalu membaiatnya.
Di dalam hadits tersebut jelas bahwa setelah kabar kematian Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, para shahabat langsung bergegas untuk
ikut berkumpul di Saqifah yang menjadi tempat pertemuan besar antara kaum
Muhajirin dan Anshar. Mereka meninggalkan urusan penting pada saat itu, yaitu
mengurusi jenazah beliau Shallallahu alaihi wasallam.
Dengan demikian, maka mencari imam atau khalifah zaman ini atau
mujadid adalah suatu kewajiban setelah meninggalnya Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam merupakan ijma’ yang dilakukan oleh para shahabat.
“Mereka (para ulama) telah
bersepakat bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang khalifah.” (Syarh Shahih
Muslim: 12/205).
“Mempunyai imam atau khalifah bagi umat islam adalah suatu
kewajiban. Kewajiban ini sudah diketahui dalam syariat berdasarkan ijma’ para
shahabat dan tabi’in. Karena para shahabat langsung bergegas membaiat Abu Bakar
dan menyerahkan mereka kepada beliau pada saat Nabi meninggal dunia. Ijma’ ini
berlaku pada zaman para shahabat karena para shahabat itu dalam didikan dan
baiat langsung kepada Rasulullah. Untuk abad berikutnya khalifah zaman atau
imam zaman atau mujadid sudah di janjikan Allah SWT untuk setiap masanya. Yaitu
muncul setiap awal abad setiap 100 tahun berikutnya. Dengan demikian, ini
adalah menunjukkan tentang kewajiban bagi setap muslim untuk mencari imam zaman
atau khalifah zaman.
Ibnu Hazm juga menyebutkan, “Seluruh ahlus sunah, murji’ah, syi’ah
dan khawarij bersepakat tentang kewajiban mempunyai seorang imam atau khalifah,
dan umat wajib tunduk kepada imam atau khalifah yang menjalankan agamanya, dan yang
membimbing mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam. Kecuali pendapat orang-orang Khawarij dari Najd.”
(al-Fashl fil Milal wan Nihal: 4/87).
Al-Qurthubi juga berpendapat, “Tidak ada perbedaan pendapat
tentang kewajiban (mempunyai khalifah) di antara umat, dan para imam.
Dalil dalil tersebut di atas menunjukkan tentang khalifah yang
haq. Yaitu, khalifah yang haq adalah:
Diangkat oleh Allah SWT lewat tangan Baginda Nabi Muhammad SAW dengan
syarat syarat bahwa sanad sanad tentang keilmuannya dan baiatnya harus sambung
menyambung sampai kepada Rasulullah dan tidak pernah putus. Yang berarti sanad
sanad tentang keilmuannya dan baiatnya tidak palsu dan maudu’.
Dalil tentang mujadid
terjemahnya: "Sesungguhnya ALLOH akan mengutus kepada ummat ini seorang mujaddid terhadap agamanya setiap 100 tahun." ( sahih Sunan Abu Daud, # 4291).
Manakala hadith Nabi Isa dan Imam Mahdi itu adalah tanda-tanda menjelang akhir dunia atau amat dekatnya Qiamat. Adapun hadith mujaddid setiap 100 tahun ini adalah putaran tajdid (baik pulih) umat Islam dalam bentuk kefahaman, keimanan dan pelaksanaan Islam.
Dalil tentang mimpi bertemu rasulullah
Berikut
Hadits-hadits berkenaan dengan mimpi ketemu Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam.
حَدََّثَنَا
عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ يُونُسَ عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي
أَبُو سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي
الْيَقَظَةِ وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ
ابْنُ سِيرِينَ إِذَا رَآهُ فِي صُورَتِهِ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdan telah mengabarkan kepada kami Abdullah dari
Yunus dari Az Zuhri telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, bahwasanya Abu
Hurairah mengatakan, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
melihatku dalam tidur, maka (seakan-akan) ia melihatku ketika terjaga, (karena)
setan tidak bisa menyerupaiku.”. Abu Abdullah mengatakan, Ibnu Sirin
mengatakan; ‘Maksudnya jika melihat Beliau dengan bentuk (asli) Beliau.’ (HR.
Bukhari No. 6478, Ibnu Majah No.3895)
حَدَّثَنَا
مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ حَدَّثَنَا
ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَخَيَّلُ بِي وَرُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ
سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
Telah
menceritakan kepada kami Mu’allaa bin Asad telah menceritakan kepada kami
‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar telah menceritakan kepada kami Tsabit Al Bunani dari
Anas radliallahu ‘anhu mengatakan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Siapa
melihatku dalam mimpi, berarti ia telah melihatku, sebab setan tidak bisa
menjelma sepertiku, dan mimpi seorang mukmin adalah sebagian dari empat puluh
enam bagian kenabian.”. (HR. Bukhari No.6479)
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنِي ابْنُ الْهَادِ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ خَبَّابٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ لَا يَتَكَوَّنُنِي
Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Al
Laits telah menceritakan kepadaku Ibnul Al Had dari Abdullah bin Khabbab dari
Abu Sa’id Al Khudzri, ia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
melihatku, berarti ia telah melihat yang sebenarnya, sebab setan tak bisa
menjelma sepertiku.”. (HR. Bukhari No.6482)
حَدََّثَنَا أَبُو
الرَّبِيعِ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي
ابْنَ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ وَهِشَامٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ رَآنِي فِي
الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
Telah
menceritakan kepada kami Abu Ar Rabi’ Sulaiman bin Dawud Al ‘Ataki; Telah
menceritakan kepada kami Hammad yaitu Ibnu Zaid; Telah menceritakan kepada kami
Ayyub dan Hisyam dari Muhammad dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa bermimpi melihatku
dalam tidurnya, maka sesungguhnya dia benar-benar melihatku; karena setan itu
tidak dapat menyerupai bentukku.”. (HR. Muslim No.4206)
حَدََّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ
بِي وَقَالَ ابْنُ فُضَيْلٍ مَرَّةً يَتَخَيَّلُ بِي فَإِنَّ رُؤْيَا الْعَبْدِ
الْمُؤْمِنِ الصَّادِقَةَ الصَّالِحَةَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ
النُّبُوَّةِ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail telah menceritakan kepada kami
‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa melihatku di dalam mimpi
sungguh dia telah melihatku (yang sebenarnya), karena sesungguhnya setan tidak
bisa menyerupai aku” ~Ibnu fidloil berkata: “menghayalkan aku"~ , Sesungguhnya
mimpi seorang mukmin yang benar adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian
kenabian.”. (HR. Ahmad No.6871, At-Tirmidzi No.2202).
Dan masih banyak
dalil-dalil lainnya tentang kebenaran seseorang dapat bermimpi ketemu Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dalil tentang yaqozah rasulullah saw
Hadis
Nabi SAW Memberi Salam Setelah Wafat
Hadis
ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam baik ketika
hidup maupun wafat tetap bisa memberi kebaikan bagi umatnya. Beliau shallallahu
‘alaihi wasallam setelah wafatnya masih dapat memberikan salam [yang merupakan
doa] kepada umatnya.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله بن يزيد
ثنا حيوة ثنا أبو صخر أن يزيد بن عبد الله بن قسيط أخبره عن أبي هريرة عن رسول
الله صلى الله عليه و سلم قال ما من أحد يسلم علي الا رد الله عز و جل إلي روحي
حتى أرد عليه السلام
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku
ayahku yang berkata menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yazid yang berkata
menceritakan kepada kami Haywah yang berkata menceritakan kepada kami Abu
Shakhr bahwa Yazid bin ‘Abdullah bin Qusaith mengabarkan kepadanya dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Tidaklah
seseorang menyampaikan salam kepadaku kecuali Allah ‘Azza wa Jalla
mengembalikan ruhku sampai aku menjawab salamnya” [Musnad Ahmad 2/527 no
10827]
Hadis
ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 2/527 no 10827, Abu Dawud
dalam Sunan Abu Dawud 1/622 no 2041, Baihaqi dalam Sunan Baihaqi
5/245 no 10050, Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Awsath 3/262 no 3092 dan
Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no 526 semuanya dengan jalan dari ‘Abdullah
bin Yazid dari Haywah dari Abu Shakhr dari Yazid bin ‘Abdullah dari Abu
Hurairah secara marfu’.
Hadis
ini kedudukannya shahih. Diriwayatkan
oleh para perawi terpercaya, Abu Shakhr adalah Humaid bin Ziyad seorang perawi
yang dikatakan shaduq hasanul hadis tetapi pendapat yang benar ia adalah
seorang yang tsiqat.
- ‘Abdullah bin Yazid Al ‘Adawi Al Muqri adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Nasa’i, Al Khalili, Ibnu Sa’ad, Ibnu Qani’ menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 166]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/548]
- Haywah bin Syuraih Al Mishri adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad berkata “tsiqat tsiqat”. Abu Hatim, Ibnu Ma’in, Yaqub bin Sufyan, Al Ijli, Maslamah dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 135], Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 1/252]
- Abu Shakhr Humaid bin Ziyad adalah perawi Bukhari dalam ‘Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah. Ia adalah perawi yang tsiqat. Ahmad berkata “tidak ada masalah padanya”. Telah meriwayatkan darinya Yahya bin Sa’id yang berarti ia menganggap Humaid bin Ziyad tsiqat. Daruquthni berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 69]. Al Ijli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 362]. Ibnu Syahin memasukkannya ke dalam perawi tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 267]. Terdapat perselisihan mengenai pendapat Ibnu Ma’in, Ibnu Abi Hatim membawakan riwayat dari Ishaq bin Manshur dari Ibnu Ma’in yang menyatakan ia dhaif [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 975]. Ibnu Ady membawakan riwayat dari Ahmad bin Sa’d bin Abi Maryam dari Ibnu Ma’in yang menyatakan dhaif [Al Kamil Ibnu Ady 2/236] tetapi disebutkan dari muridnya Ibnu Ma’in yaitu Ibnu Junaid bahwa Yahya bin Ma’in menyatakan Humaid bin Ziyad “tidak ada masalah padanya” [Su’alat Ibnu Junaid no 835] dan disebutkan pula dari Utsman Ad Darimi ketika bertanya kepada Ibnu Ma’in tentang Humaid bin Ziyad, Ibnu Ma’in menjawab “tidak ada masalah dengannya” [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Darimi 1/95 no 260]. Pendapat yang rajih di sisi Ibnu Ma’in adalah ia menganggap Humaid bin Ziyad tsiqat karena riwayat Ibnu Junaid dan riwayat Ad Darimi lebih tinggi sanadnya atau bisa saja diartikan pada awalnya Ibnu Ma’in menganggap ia dhaif tetapi setelah itu ia menganggapnya tsiqat. Nasa’i berkata “tidak kuat” [Ad Dhu’afa no 143]. Pernyataan Nasa’i ini tidak bersifat jarh mutlak karena ia terkenal ketat dalam menjarh sehingga para ulama menyatakan bahwa perkataannya “tidak kuat” bisa berarti seorang yang hadisnya hasan. Ibnu Hajar berkata “shaduq terkadang salah” [At Taqrib 1/244] tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir At Taqrib no 1546]
- Yazid bin ‘Abdullah bin Qusaith adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada masalah padanya” [yang berarti tsiqat]. Nasa’i berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. [At Tahdzib juz 11 no 556]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/327]
Ingat tentang dalil siapa belajar ilmu agama tidak mempunyai guru,
gurunya adalah syaitan dan hawa nafsunya. Atas dasar ini yang berarti sanad
sanad ilmunya harus sambung menyambung sampai Rasulullah apalagi Baiat.
Atas dasar dalil dalil diatas dan dalil dalil tentang mujadid
dalil dalil tentang mimpi bertemu Rasulullah SAW dan yaqozah(bertemu dalam
keadaan terjaga) dengan Rasulullah SAW kekhalifahan tarekat syadzaliyah Yogyakarta
menyimpulkan atau berijtihat bahwa kekhalifahan zaman ini adalah diangkat oleh
Allah SWT lewat tangan Rasulullah SAW disaksikan oleh gurunya dalam keadaan
terjaga atau yaqozah dan para pemuka umat islam maupun umat islam dengan alasan
apapun hebatna ketaqwaanya tidak boleh bermusyawarah untuk mengangkat seorang
imam atau khalifah umat islam zaman ini menuruti hawa nafsunya karena khalifah
atau imam disetiap zamannya sudah dijanjikan oleh Allah sendiri inilah Kekhalifahan
yang Haq bagi umat islam sedunia. Yang berhak membaiat seluruh kaum muslimin
seluruh dunia adalah Khalifatul Zamani atau Imam Zaman atau Mujadid Zaman.
Apabila tidak memungkinkan/darurat Baiat secara sir dan otomatis di wakilkan
kepada para masyayikh dan para mursyid yang sanad sanad keilmuannya dan baiatnya
sambung menyambung sampai Rasulullah
Di
keluarkan oleh Kekhalifahan Tarekat Syadzaliyah Sulthoniah/ Tarekat Syadzaliyah
Al-Jawi Al-Indonesii Yogyakarta. Jl. Jogja-Wonosari Km11, Randusari
Sitimulyo Piyungan Bantul Yogyakarta
Salam kenal dengan penulis..
BalasHapus